Senja memunguti saputangan di semenanjung,
menandai ini perpisahan ketigabelas sejak lampu-lampu kota sudah
tak lagi mampu memaknai perpisahan, sebagai sesuatu
yang perlu dihiasi pelukan-pelukan.
Aku berdiri di tepi selokan, barangkali matahari senja
yang hendak pensiun itu akan terbenam di sini. Bersama
siluet gedung-gedung berlinggi yang mungkin akan
mengangkat roknya tinggi-tinggi kala musim banjir tiba
dan aku mulai menggali lapangan bulu tangkis
mencari tempat tinggal baru, oase baru, kepedihan baru
yang lalu dilompat-lompati, selaik mayat perang
—dilangkah-langkahi
Dahulu, sebelum keangkuhan rutin berlari-lari pagi di sini,
kecipak daun-daun masih mencari insang di muka danau
dan napas ketulusan masih ramah bertegur sapa
pun gelisah ketakutan bertengger di buritan perahu
tempat nelayan melupakan jala dan mulai mengapung
melukis segala jajar pemandangan pada pusara-pusara
yang menyimpan mural-mural kerinduan.
Senja meniup-niup gemerlap kebodohan yang dibangun
sedemikian tinggi. Agar goyah lalu runtuh hingga tampak
pemandangan yang ia rindukan. Hingga jelas guratan pada pusara.
Dan mulai menyusun satu persatu rindu-rindu yang melupakan namanya.
Oleh : Andi Wirambara (Penyair Muda)